Berita
Informasi seputar transisi Indonesia menuju energi terbarukan
Pemerintah bakal melakukan revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 jo No. 13/2019 jo No.16/2019 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero). Tujuannya yaitu agar masyarakat semakin tertarik memanfaatkan PLTS Atap. Salah satu poin yang direvisi adalah mengenai ketentuan ekspor listrik ke PT PLN (Persero), yang mulanya dibatasi 65%, direvisi menjadi 100%.
Pada Pasal 6 Permen ESDM No.49 tahun 2018 diatur bahwa “Energi listrik pelanggan PLTS Atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65%.”
Adapun kWh ekspor ini adalah jumlah energi listrik yang disalurkan dari sistem instalasi pelanggan PLTS Atap ke sistem jaringan instalasi pelanggan PT PLN (Persero) yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, angka 65% yang saat ini berlaku dianggap tidak menarik bagi pelanggan.
“Angka 65% ini dianggap belum menarik, kenapa belum menarik? selama 3,5 tahun dimulai, baru 35 mega watt (MW) (terpasang), nah yang paling simple apa yang bisa dilakukan agar menarik, ya 65% dinaikkan,” paparnya dalam konferensi pers, Jumat (27/08/2021).
Menurutnya, Menteri ESDM menyampaikan demi mendorong pemanfaatan PLTS, maka perlu ada insentif di awal, sebagai bentuk perhatian pemerintah. Oleh karena itu, ekspor listrik yang pada peraturan saat ini dibatasi 65%, kini diusulkan dinaikkan menjadi 100%.
“ESDM berikan insentif di awal, pemerintah sediakan insentif, kami (naikkan) ekspor 65% jadi 100%,” ujarnya.
Perlu diketahui, ekspor listrik ini nantinya digunakan untuk perhitungan energi listrik pelanggan PLTS Atap dan bisa mengurangi tagihan listrik pelanggan setiap bulannya.
Pada Pasal 6 Permen ESDM No.49 tahun 2018 juga disebutkan bahwa:
Terkait “tabungan” listrik dari PLTS Atap ini yang bisa diakumulasikan paling lama tiga bulan sebagaimana tercantum pada Pasal 6 (4) tersebut, di dalam revisi peraturan ini, menurut Dadan ini juga akan diubah menjadi enam bulan.
“Posisi Permen menjadi paling lama tiga bulan. Ini perlu diperpanjang. Kami di dalam konsep Permen ini yang sedang dalam proses pengundangan jadi enam bulan. Gak bisa nabung, dipakai tahun depan pasti akan dinolkan, untuk pastikan terjadi kepastian penyediaan listrik konsumen dan PLN,” jelasnya.
Lebih lanjut Dadan menjelaskan, nantinya jangka waktu permohonan PLTS juga akan lebih singkat dari yang mulanya 15 hari, nantinya akan menjadi lebih singkat, yakni maksimal 12 hari bagi yang dengan perubahan Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dan 5 hari untuk yang tanpa perubahan PJBL.